Standardisasi Dai dan Deradikalisasi


Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Peserta Standardisasi Dai MUI

(Dikutip dari Mediaindonesia.com)


Pada 18 dan 25 November 2019, Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat (Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan Standardisasi Dai MUI. Program strategis  ini direspons sangat antusias. Setiap angkatan diikuti lebih dari 75  orang, dari para dai lintas ormas hingga perguruan tinggi. Para peserta  yang dinyatakan lulus dilantik oleh Wapres Ma'ruf Amin di Grand Syahid  Jaya pada 2 Desember 2019.

Program standardisasi dai atau pendakwah itu merupakan respons positif terhadap  sejumlah fakta yang memprihatinkan. Pertama, banyak dai yang belum  memenuhi standar minimal, tapi 'terpaksa' tampil sebagai mubalig.  Misalnya, bacaan ayat dan hadisnya bermasalah, kontennya tidak sesuai  ajaran Islam, aktivitas dakwahnya menyesatkan, dsb.

Kedua, aktivitas dakwah di media massa dan media sosial, seperti  Facebook, Whatsapp, Instagram, Twitter, dsb, ditengarai kurang bernilai  edukasi, menebar ujaran kebencian, hoaks, provokasi, fitnah, adu domba,  berorientasi radikalisme destruktif, dsb. Jika dakwah tidak  distandardisasi, model dakwah seperti itu dapat merusak citra positif  Islam sekaligus mengancam integrasi dan masa depan NKRI.

Ketiga, etika dakwah, termasuk dakwah digital, sering diabaikan.  Komunikasi persuasif, santun, dan edukatif kurang diindahkan. Layanan  dakwah diberikan berdasarkan tarif tertentu. Bahkan, dakwah juga  dipolitisasi untuk mendukung atau menjatuhkan calon tertentu yang  berkontestasi dalam pilpres atau pilkada.

Keempat, sebagian dai masih tergolong 'pendatang baru'. Sanad  keilmuan dan keislamannya sering dipertanyakan, tapi terlanjur menjadi  publik figur populer karena berprofesi sebagai artis, musikus, pelawak,  politisi, dsb. Konten dakwahnya bergeser dari 'tuntunan keagamaan'  menjadi 'tontonan hiburan'.

Oleh karena itu, standardisasi dai menjadi sangat relevan dan  strategis. Pertama, standardisasi dai bertujuan menyamakan persepsi dan  pemikiran di kalangan para dai tentang substansi dan aksi dakwah yang  menyejukkan, mendamaikan, mencerdaskan, dan mencerahkan.

Kedua, koordinasi dan kolaborasi gerakan dakwah antara dai umat Islam  dan pemerintah sehingga membuahkan sinergi simbiosis mutualisme dalam  mengembangkan dakwah berwawasan kebangsaan sekaligus merupakan moderasi  dalam beragama. Juga deradikalisasi konstruktif terhadap pemahaman  keagamaan yang ekstrem.

Ketiga, meneguhkan dan menyukseskan gerakan dakwah Islam sebagai  rahmat bagi semua. Dakwah itu menebar rahmat, bukan mengumbar kebencian,  makian, umpatan, dan kemarahan.

Keempat, standardisasi kompetensi dan performa dai dalam melayani  umat (khidmah al-ummah) dan melindungi NKRI (himayah ad-daulah). Karena  itu, para dai yang dinyatakan memenuhi standar kompetensi minimal dapat  direkomendasikan MUI sebagai dai berkompeten yang mencerdaskan,  mencerahkan, memberdayakan, dan memajukan umat dan bangsa.


Visi-misi dan orientasi

Tidak semua dai memiliki visi-misi, persepsi, dan orientasi yang sama  dalam berdakwah, terutama dakwah dalam kemajemukan bermasyarakat,  berbangsa, dan bernegara. Banyak dai yang belum memahami norma hukum  terkait dakwah di ranah publik yang berpotensi 'melanggar' sejumlah  pasal dalam UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi  Elektronik (ITE). Lalu UU No 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan  Penyalahgunaan dan/atau Penodaan agama, serta UU No 40 Tahun 2008  tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik.

Ketidakpahaman aturan hukum positif bisa 'menjerat' dai yang  melakukan penodaan dan penistaan terhadap agama lain ketika berbicara di  ranah publik, terutama di lini massa. Standardisasi ini dapat  menjadikan para dai bersikap arif, bijak, toleran, dan santun dalam  mendakwahkan masalah-masalah sensitif dan kontroversial.

Dengan memahami aturan hukum positif, dai diharapkan lebih  berhati-hati dalam mendakwahkan isu-isu yang berpotensi menyebabkan  disharmoni, konflik sosial, dan disintegrasi bangsa.

Oleh karena itu, standardisasi dai diharapkan dapat membingkai  kesamaan visi-misi, persepsi, dan orientasi dakwah. Visi dan misi dakwah  yang dipahami para dai idealnya bukan semata tablig (penyampaian)  substansi materi keislaman, melainkan juga mengedukasi, mendampingi,  memberdayakan, dan mengadvokasi mad'u (yang didakwahi) agar menjadi umat  teladan dalam berbagai bidang kehidupan. Baik sosial ekonomi,  pendidikan, hukum, budaya, politik, keamanan, dsb.

Kesamaan visi-misi dan orientasi dakwah yang berwawasan kebangsaan  meniscayakan terbangunnya komunikasi dan sinergi lintas dai. Karena itu,  dai MUI dapat berperan sebagai pemberi solusi masalah umat dan bangsa,  bukan pembuat masalah. Dai terstandardisasi diharapkan berkomitmen  memerankan diri sebagai pelayan umat, perekat bangsa, dan pengawal NKRI.  Sekaligus berperan aktif dalam deradikalisasi terhadap ekstremitas  dalam beragama.


Dai berwawasan kebangsaan

 Standardisasi dai juga diharapkan dapat mengembangkan substansi dan  metodologi dakwah yang memberi pengaruh besar terdahap perbaikan dan  peningkatan kualitas hidup umat dan bangsa. Dakwah standar itu harus  berorientasi transformasi pola pikir dan pola hidup menjadi islami. Dari  orientasi duniawi semata menuju orientasi duniawi dan ukhrawi.

Dai terstandardisasi idealnya mampu mengembangkan dakwah literasi,  termasuk literasi digital. Dengan dakwah literasi, dai dapat membebaskan  mad'u dari penyakit klasik: kebodohan, kemiskinan, dan kemunduran  menuju keterpelajaran, kesejahteraan, serta kemajuan.

Melalui dakwah literasi multidimensi, dai terstandardisasi mampu  menghadirkan moderasi beragama, wasathiyat al-Islam. Dalam konteks ini,  upaya MUI memfasilitasi aplikasi Referensi Dakwah Digital yang dapat  diunduh melalui Play Store patut diapresiasi sebagai rujukan  pengembangan moderasi beragama dan dakwah berwawasan kebangsaan.

Standardisasi dai dapat membuahkan afirmasi komitmen moral dalam  mengamalkan etika dakwah berwawasan kebangsaan. Dalam Akhlaqiyat  ad-Da'iyah wa Atsaruha 'ala al-Mad'u (2017), Ali bin Abdul Aziz  ar-Rajihi menegaskan, dai harus memiliki integritas moral, seperti  ikhlas, uswah hasanah, jujur, rendah hati, berakhlak mulia, dsb. Dengan  kata lain, dai harus memiliki kompetensi keislaman, keilmuan,  keterampilan yang memadai, serta berintegritas teladan dalam  mengedukasi.

Dengan standardisasi, bukan sertifikasi karena bukan dimaksudkan  untuk formalisasi, dai berwawasan kebangsaan harus mampu  mengaktualisasikan dakwah berbasis uswah hasanah (keteladanan yang  baik). Berdakwah dilakukan dengan penuh keikhlasan, ketekunan, terus  memberi motivasi dan solusi; tidak dengan emosi, tidak menyakiti, tetapi  menjadikan mad'u sebagai mitra sejati.

Akhirulkalam, menjadi dai itu merupakan panggilan iman dan hati  nurani. Karena itu, kesucian hati dai menjadi pangkal segalanya. Menjadi  dai itu bukan sekadar berpenampilan seperti kiai atau mubalig,  melainkan harus tekun meniti jalan kenabian yang penuh risiko dan siap  berkorban. "Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang  menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:  "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" (QS  Fushshilat 41: 33)

Para dai ialah pewaris visi-misi dan orientasi dakwah para Rasul.  Karena itu, standardisasi menghendaki integrasi perkataan dan perbuatan  pada diri dai sekaligus meniscayakan integrasi aktualisasi kemaslahatan  umat dan bangsa serta sinergi konstruktif progresif antara agama dan  negara sehingga kebinekaan Indonesia tetap tunggal eka, bersatu, rukun,  damai, sejahtera, adil, dan makmur. 

Share: