Sawat Lenso, tarian Maluku yang menjadi simbol persahabatan Muslim dan Kristen

Saat konflik membara di Ambon,  sekitar 20 tahun lalu, sejumlah anak muda sering menyelinap ke  wilayah-wilayah yang tak bisa mereka tembus, hanya untuk latihan menari.

Ketika  itu, tempat-tempat di Ambon diberi palang pembatas, yang Kristen tak  bisa melintas ke wilayah Muslim dan demikian sebaliknya, kejadian yang  berlangsung bertahun-tahun dalam konflik paling berdarah di Indonesia.  Sekitar 5.000 orang meninggal dan lebih 500.000 orang mengungsi.

Salah  satu kejadian yang paling diingat salah seorang penari Deena Zawawi  adalah saat mereka harus pentas di Jakarta namun terpaksa berangkat dari  pelabuhan yang berbeda di Ambon. Deena mengatakan saat itu mereka  sangat menikmati bisa bertemu dengan bebas di ibu kota.

"Saat ada acara di Jakarta, yang Kristen berangkat dari (Pelabuhan)  Halong, yang Muslim di (Pelabuhan) Yos Sudarso. Di sana (Jakarta, saat  akan pulang) kami nangis kok kita harus pisah lagi. Di Ambon, gak bisa  sama-sama kaya gini. Ada penghalang. Mau pulang rasanya gimana ya,"  cerita Deena mengenang kejadian tahun 2003 itu.

"Alhamdulilah, kita tak sekarang tidak seperti itu lagi," tambahnya.

Deena dan sejumlah temannya mengangkat tari Sawat Lenso, perpaduan  dua tarian Maluku, melalui grup tari yang didirikan saat konflik membara  di Ambon dan dinamakan Tifa Siwalima. 

Dori Matahusea, pembina  sanggar tari ini mengatakan melalui kelompok tari itu, mereka  membuktikan bahwa "konflik tak memisahkan kami."

Dori mengatakan  tarian ini sudah lama ada dan mereka mengaktifkannya kembali untuk  mencoba menyebarkan rasa kebersamaan, terutama setelah konflik pecah  pada 19 Januari 1999. 

Tari Sawat, yang banyak dibawakan di kantung-kantung warga yang  bergama Muslim, sementara Lenso di daerah Kristen, dipadukan dengan  iringan rebana dan tifa totobuang atau gendang.

"Tari ini  terinspirasi saat kerusuhan pecah dan mulai kami sebarkan ke masyarakat  banyak dan harapan kami, pandangan mereka berubah tentang kehidupan  beragama di Maluku. Ini juga kita pamerkan di luar," kata Dori.

Ia mengatakan tarian ini menjadi simbol persahabatan Muslim dan Kristen.

Saat  ini, selain sanggar tari Tifa Siwalima, acara bersama sering diadakan  kelompok pemuda lain, termasuk di antaranya baca puisi, melukis dan  acara musik.


Di Antara Desing Peluru dan Kobarna Api

Pendeta  Jacky Manuputty, yang ikut bergerak dalam perdamaian Ambon,  menggambarkannya sebagai "tari damai di antara desingan peluru dan  kobaran api". 

Berikut penuturan Pendeta Jacky Manuputty selengkapnya:

Hotel  di daerah Soya Kecil, Ambon, itu belum selesai dibangun. Di dalamnya  gelap, karena instalasi listrik belum terpasang. Gedungnya dipagari oleh  lapisan seng yang tinggi. Sekalipun gelap, tetap tak mengurangi  antusiasme sekelompok pemuda berlatih tari.

Untuk membantu penerangan, sering kali mereka menarik seutas kabel  dari rumah tetangga yang digantungkan dengan bohlam 40 watt. Kalau  listrik padam mereka akan memakai penerangan seadanya dari satu atau  beberapa batang lilin yang dinyalakan.

Komunitas tari ini secara  rutin berlatih. Mereka tak mempedulikan atmosfir Kota Ambon yang  sementara didera kebencian dan nafsu untuk membunuh. Kobaran api,  desingan peluru, teriakan-teriakan penuh amarah dari kota yang sedang  terbakar konflik tak mereka pedulikan.

Persahabatan mereka  menyumbang asupan energi dan keberanian yang jauh lebih besar dari  ketakutan akan teror konflik. Rasa percaya antarsesama teman telah  terbentuk di antara mereka, jauh sebelum pecahnya konflik kemanusiaan  1999 yang meluluh-lantakan hubungan kemanusiaan di provinsi yang dikenal  dengan frasa 'Orang Basudara' itu.

Menyeberangi batas demarkasi  saat konflik tentu bertarung nyali bagi siapa pun di Ambon saat itu.  Bagi komunitas tari ini, demarkasi harus ditembusi dengan segala siasat.

Daerah  Soya Kecil berada di wilayah komunitas Kristen. Untuk mencapai daerah  itu, para penari Kristen menjemput teman-temannya yang Muslim di wilayah  perbatasan. Sambil menyaru mereka menembusi batas wilayah di daerah  Mardika.

Di dalam gedung itu mereka terlindung dari amatan  masyarakat secara umum. Di luar gedung, beberapa sahabat dan keluarga  penari Kristen menunggu dan berjaga-jaga sehingga para penari aman di  dalam.

Tifa, rebana, dan berbagai jenis alat musik tradisional  bersahutan dalam rampak yang harmoni mengiringi latihan mereka.  Komposisi tari dibentuk bagian demi bagian yang memungkinkan mereka  bersentuhan, berpelukan atau saling menopang secara fisik.

Hal ini  terlihat kontras dengan bara konflik yang saling memisahkan orang  basudara dalam tarian perang yang brutal. Setiap saat, ketika mengawali  atau pun mengakhiri sesi latihan, mereka wajib berdoa secara bergilir  berdasarkan agamanya masing-masing.

Jika penari Muslim berdoa di awal sesi latihan, penari Kristen akan  menyampaikan doanya pada bagian penutup latihan. Awalnya mereka  menawarkan untuk berdoa masing-masing saja di dalam hati. Namun akhirnya  mereka terima ketika disarankan untuk menyampaikan doa dengan suara  yang terdengar. Mendengar doa secara langsung akan menumbuhkan apresiasi  satu terhadap lainnya.

Tak jarang komunitas tari ini diminta  berangkat ke luar Ambon untuk mengikuti festival. Segregasi wilayah  akibat konflik membuat mereka berangkat dalam kelompok yang terpisah  menuju bandara.

Di kota tujuan mereka menari dan memperlihatkan  persekutuan lintasagama antarsesama anak Maluku, sekalipun pedih hati  mereka mengingat prahara yang sedang melanda Maluku. Tekad mereka kuat  untuk memelihara modal sosial melalui tari, sekalipun hati mereka  terluka.

Menjelang berakhirnya konflik, mereka mulai berani  mengkreasi tarian yang menggabungkan unsur gerak dan musik Islami,  dengan musik dan tarian yang umumnya dimainkan di wilayah Kristen.  Kolaborasi Tari Lenso dan Tari Sawat adalah produk yang mereka hasilkan  untuk mengirim pesan perdamaian lewat seni tari.

Tari Lentera  mereka ciptakan sebagai penghargaan kepada Gerakan Perempuan Peduli di  Maluku yang bergerak sejak awal konflik untuk mengkampanyekan  perdamaian. Mereka terus menari di dalam keyakinan bahwa melalui tari  mereka bisa mengkampanyekan perdamaian untuk masyarakat mereka yang  terluka.

Konflik telah lama berakhir. Tepat 20 tahun hari ini  ketika konflik kemanusiaan berawal pada 19 Januari 1999. Komunitas tari  ini semakin teguh menabuh perkusi perdamaian dan persaudaraan melalui  tarian.

Ini sesuai dengan nama komunitas mereka. "Tifa Siwalima"  dua frasa yang memaknakan perkusi dan persekutuan; dan persahabatan di  antara mereka telah mengalir menembusi sekat-sekat ruang latihan.

Mereka  telah menginspirasi banyak komunitas seni untuk menarikan tema-tema  perdamaian di Maluku. Lebih dari itu, mereka telah menjadi saudara satu  terhadap lainnya dalam kehidupan sehari-hari. (BBCIndonesia)

Share: