Ketika seorang turis China didiagnosis positif Covid-19 pada 13 Januari dan diketahui sebagai infeksi pertama di luar China, Thailand diprediksi akan sangat terdampak oleh Covid-19. Asia Times melaporkan (26/5), Thailand menerima ratusan ribu turis China selama liburan Tahun Baru Imlek dan membiarkan perbatasannya tetap terbuka.
Ketika seorang dokter ternama di Rumah Sakit Siriraj memperkirakan adanya 350.000 kasus dan 7.000 kematian pada 26 Maret, Perdana Menteri Prayut Chan-ocha langsung menerapkan aturan darurat, manajemen krisis terpusat, dan penguncian secara bertahap.
Kasus infeksi menurun
Setelah itu infeksi harian Thailand pun cenderung menurun setelah melaporkan data harian tertinggi pada 22 Maret sebanyak 188 kasus dan secara berangsur-angsur menjadi nol kasus harian pada 24 Mei. Dibandingkan negara tetangganya di Asia Tenggara, kasus Covid-19 di Thailand termasuk sedikit dengan 3.081 kasus dan 57 kematian sejak Januari.
Meski banyak analis, pakar, dan diplomat meragukan angka resmi itu, tapi hanya sedikit pihak yang percaya jika pemerintah menyembunyikan angka resminya. Sebab, dengan pers yang relatif bebas dan media sosial yang bahkan lebih bebas, para pejabat tentu akan kesulitan untuk menyembunyikan berbagai kasus.
Sementara para peneliti dan ilmuwan masih bergulat dalam melihat alasan mengapa sejumlah negara lebih terpukul, Thailand sejauh ini cenderung berutang pada sejumlah faktor. Hal itu termasuk perintah untuk tetap tinggal di rumah dan penerapan jarak sosial telah dipatuhi sebagai tugas patriotik.
Faktor budaya
Keberhasilan Thailand juga bisa disebabkan oleh faktor budaya, seperti budaya tradisional menyapa tanpa menyentuh.
Selain itu, sikap diam yang diilhami oleh ajaran Buddhisme dapat dirasakan di transportasi umum yang seringkali terlihat senyap. Sikap ini bisa melindungi seseorang dari penyebaran virus melalui udara.
Secara lebih klinis, sistem perawatan kesehatan umum Thailand termasuk yang terbaik di regional dengan perawatan medis berbiaya rendah yang tersedia hampir secara nasional.
Pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkritik jumlah kasus Covid-19 di Thailand karena kurangnya pengujian yang sistematis. Seorang pejabat kesehatan masyarakat Thailand mengakui di webinar baru-baru ini kepada para jurnalis, bahwa pemerintah kekurangan sumber daya untuk pemantauan secara luas. Kendati demikian, Thailand telah sigap menyusun tanggapan cepat dan sukses terhadap krisis kesehatan di masa lalu.
Asisten Juru Bicara Pusat Administrasi Covid-19 (CCSA) Thailand Panprapa Yongtrakul menjelaskan, kasus infeksi yang terus menurun selama dua minggu terakhir tidak berarti membuat seseorang menjadi lengah. "Masih terlalu dini untuk berpuas diri. Berurusan dengan virus adalah maraton, bukan lari cepat," kata Panprapa. (kompas, Asia Times)