Bank Dunia memperkirakan inflasi akan tetap tinggi pada rata-rata tahunan sebesar 26%.
Suarthailand- Bank Dunia memperkirakan ekonomi Myanmar akan berkontraksi pada tahun fiskal saat ini, karena inflasi yang tinggi, mata uang yang merosot, serta kekurangan listrik dan tenaga kerja semakin menekan negara yang dilanda perang tersebut.
Produk domestik bruto Myanmar pada tahun fiskal yang berakhir Maret 2025 diperkirakan akan menyusut sebesar 1% dari perkiraan pertumbuhan sebelumnya sebesar 1%, dengan dampak Topan Yagi pada bulan September memperburuk situasi, menurut laporan Bank Dunia yang diterbitkan pada hari Rabu. Junta militer memperkirakan pertumbuhannya sebesar 3,8%.

Bank Dunia mengatakan perkiraan terbarunya menyiratkan bahwa output ekonomi negara tersebut pada tahun 2025 akan menyusut sekitar 11% sejak tahun 2019. Penurunan tersebut disebabkan oleh guncangan dari kudeta militer pada tahun 2021 yang memicu kembali perang saudara di seluruh negara Asia Tenggara tersebut.
“Eskalasi konflik lebih lanjut, termasuk menjelang kemungkinan pemilihan umum pada tahun 2025, atau bencana alam parah lainnya dapat menekan produksi di berbagai sektor,” kata Bank Dunia seperti dilaporkan The Nation. Jika itu terjadi, gangguan yang lebih lama dan lebih luas dapat terjadi dan menjerumuskan rumah tangga lebih dalam ke dalam kemiskinan.

Bank Dunia memperkirakan inflasi akan tetap tinggi pada rata-rata tahunan sebesar 26% dengan tekanan harga yang terus berlanjut tahun depan akibat mata uang kyat yang lemah, kontrol impor, dan gangguan lainnya. Prakiraan pertumbuhan untuk tahun berikutnya tetap rendah, dengan asumsi bahwa konflik tidak meningkat, kata Bank Dunia.
Kekurangan bahan baku dan listrik impor yang terus-menerus merugikan manufaktur, pertanian, dan jasa, kata laporan itu. Lebih dari separuh dari 330 kota di Myanmar juga mengalami konflik aktif, yang mengganggu rantai pasokan dan perdagangan perbatasan, tambahnya.
Prospek yang suram sebagian disebabkan oleh meningkatnya migrasi internasional dari Myanmar dalam beberapa tahun terakhir, yang memicu kekurangan tenaga kerja dan modal manusia dalam negeri. Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan bahwa terdapat 1,5 juta orang lagi yang mengungsi sejak Oktober 2023, sehingga jumlah totalnya menjadi sekitar 3,5 juta orang atau sekitar 6% dari populasi.




