Bangkok dukung perdamaian di Myanamar dan penyelenggaraan pemilu yang inklusif.
Saat Laos mengakhiri masa jabatannya sebagai Ketua ASEAN, krisis di Myanmar tetap menjadi tantangan nomor 1, dengan harapan yang meningkat untuk terobosan selama pertemuan 19–20 Desember di Bangkok.
Negara-negara yang berbatasan dengan Myanmar, yang sangat terpengaruh oleh konflik yang sedang berlangsung, akan berkumpul untuk membahas berbagai masalah yang mendesak, dengan menyoroti pentingnya kolaborasi regional dan peran ASEAN dalam menyelesaikan masalah tersebut.

Perlu ditegaskan bahwa Konsensus Lima Poin ASEAN (5PC), kerangka kerja 2021 untuk krisis Myanmar, tetap menjadi pusat perhatian diskusi akhir pekan ini.
Meskipun beberapa kemajuan telah dicapai, masih ada kesenjangan yang signifikan, terutama dalam mencapai gencatan senjata, memulai dialog yang inklusif, dan memastikan bantuan kemanusiaan.
Pertemuan Bangkok mendatang akan meninjau kembali berbagai masalah ini, dengan tujuan untuk membangun konsensus yang sangat dibutuhkan tentang jalan ke depan.
Thailand yang menjadi tuan rumah pertemuan di sebuah hotel bintang lima, menyoroti minatnya terhadap stabilitas negara tetangganya. Negara-negara tetangga, termasuk Tiongkok, India, dan Bangladesh, memiliki kekhawatiran serupa tentang bagaimana konflik tersebut meluas ke wilayah mereka.
Topik-topik utama meliputi pengelolaan perbatasan, gangguan perdagangan, kejahatan dunia maya, dan krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh konflik berkepanjangan di Myanmar.
Kehadiran Than Swe, seorang perwakilan dari pemerintahan Myanmar saat ini, diharapkan dapat membawa keterlibatan langsung dalam diskusi tersebut.
Salah satu isu yang paling banyak diperdebatkan adalah pemilihan umum Myanmar yang direncanakan akhir tahun depan. Komunitas internasional telah menyuarakan kekhawatiran tentang inklusivitas dan legitimasi proses tersebut.
Mereka khawatir hal itu dapat berfungsi sebagai strategi keluar bagi rezim militer daripada langkah nyata menuju rekonsiliasi nasional, perdamaian, dan pemerintahan yang berpusat pada rakyat.
Pengalaman pemilihan umum Myanmar sebelumnya, seperti pada masa kepresidenan Thein Sein, dapat memberikan beberapa pelajaran tentang apakah pemungutan suara dapat membuka jalan bagi transisi yang berarti.
Kemungkinan beralih dari medan perang ke meja perundingan masih belum pasti.
Banyak pemangku kepentingan, termasuk Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) dan Organisasi Bersenjata Etnis (EAO), telah diperkuat dengan peningkatan kontrol teritorial sejak operasi 1027.
EAO cenderung menjaga kepentingan mereka dengan wilayah tanpa kompromi.
Di masa mendatang, mereka harus mengoordinasikan posisi mereka jika ingin meningkatkan tekanan tambahan di luar medan perang. Dalam kasus NUG, NUG tidak mewakili semua faksi di Myanmar, yang mempersulit upaya menuju negosiasi yang komprehensif.
Pengaruh Tiongkok di Myanmar tumbuh karena Beijing memusatkan perhatian pada stabilitas di sepanjang perbatasannya dan mengamankan kepentingan ekonominya di kawasan tersebut. Proyek konektivitas dan infrastruktur telah mendorong Tiongkok untuk memainkan peran mediasi, termasuk mendesak tentara Kokang untuk menghentikan kekerasan.
Beijing melihat pemilu sebagai kesempatan untuk menstabilkan kawasan dan mengintegrasikan lebih banyak pemangku kepentingan ke dalam proses tersebut.
Pendekatan Tiongkok sejalan dengan kepentingan pemain regional lainnya seperti Thailand, India, dan Bangladesh yang memiliki kekhawatiran yang sama tentang efek limpahan ketidakstabilan.
Bersama-sama, negara-negara ini bertujuan mempromosikan solusi yang dipimpin dan dimiliki Myanmar, mengurangi tekanan eksternal sekaligus memastikan jalan negara ke depan bersifat inklusif dan damai.
Thailand berada di persimpangan jalan. Thailand dapat membentuk dan memengaruhi solusi krisis Myanmar. Sebagai tuan rumah dan tetangga, Thailand memiliki posisi unik untuk mendorong dialog dan mengurangi kekerasan di sepanjang perbatasan. Namun, pemerintah saat ini harus lebih antiaktif dan bertindak tepat waktu.
Pertemuan Bangkok menawarkan kesempatan untuk memperluas ruang kemanusiaan, mendukung pemilihan umum yang inklusif, dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perundingan perdamaian.
Peran Thailand sangat penting mengingat sejarahnya dalam memediasi konflik regional dan pengalaman pemilihannya sendiri baru-baru ini. Dengan menyediakan platform untuk dialog, Bangkok dapat mendorong para pemangku kepentingan untuk bekerja menuju rekonsiliasi nasional.
Pertemuan di Bangkok juga terjadi pada saat yang kritis bagi ASEAN, karena Malaysia akan mengambil alih jabatan Ketua pada Januari 2025.
Ini adalah kesempatan untuk mengevaluasi kembali strategi ASEAN, termasuk masa depan 5PC dan peran utusan khusus untuk Myanmar.
Para pemimpin ASEAN akan bertemu lagi di retret ASEAN di Langkawi pada pertengahan Januari untuk membahas lebih lanjut pendekatan kolektif mereka.
Pertanyaan-pertanyaan utama meliputi sikap apa yang harus diambil ASEAN terhadap pemilihan umum Myanmar, bagaimana mendorong semua pihak untuk terlibat dalam negosiasi, dan bagaimana mendukung proses politik yang kredibel dan inklusif.
Agar pemilihan umum Myanmar menghasilkan perdamaian abadi, semua pemangku kepentingan—internal dan eksternal—harus bekerja sama. Sementara ASEAN memainkan peran utama, negara-negara tetangga seperti Thailand, Tiongkok, India, dan Bangladesh harus bekerja sama untuk memastikan pendekatan yang terkoordinasi.
AS, Eropa, dan Rusia harus ikut serta. Stabilitas Myanmar merupakan prioritas regional yang berdampak




