Asia Tenggara adalah rumah bagi banyak budaya, melahirkan banyak kerajinan tangan, termasuk kain yang telah diakui sebagai warisan dunia dan dipamerkan di seluruh dunia.
Ada juga persamaan yang sama, misalnya menenun sebagai cara memproduksi dan perempuan sebagai penenunnya. Di luar itu, tenun dan kain juga mempunyai cerita atau nilai-nilai yang terpatri di dalamnya, baik nilai-nilai pribadi penenunnya maupun nilai-nilai komunitas.
Di Thailand, tradisi menenun masih terpelihara dengan baik, seperti tenun sutra yang terkenal dan Mudmee yang memiliki pola rumit. Alasan pelestarian ini adalah pemahaman akan nilai kain tersebut, baik secara budaya maupun sebagai sarana untuk menghasilkan pendapatan.
Namun hal ini bukannya tanpa tantangan, terdapat persaingan dari tekstil modern yang memerlukan regulasi dan dukungan dari pemerintah. Ada pula soal pelestarian budaya, bagaimana agar tradisi ini diteruskan oleh generasi muda.
Di seberang lautan, perempuan Iban di Kalimantan Barat juga berusaha mengatasi tantangan serupa dengan menenun tradisi dan konservasi baik secara harfiah maupun kiasan.
Tenun atau yang biasa dikenal dengan Tenun merupakan bagian dari identitas dan tradisi mereka; ini adalah bagian dari ritus peralihan mereka yang harus mereka lakukan agar dapat diterima sebagai perempuan di komunitas mereka.
Hasil dari tradisi menenun ini adalah sebuah kain yang dikenakan oleh anggota keluarga, terutama pasangannya, saat acara adat. Beberapa kain juga memiliki corak dan warna tertentu serta menjalani ritual untuk mendapat status luhur.
Di masa lalu, tradisi tenun terancam akibat pembangunan yang berlebihan dan perubahan prioritas pada masyarakat Iban. Faktor lain seperti eksploitasi lahan dan hutan akibat pertambangan dan perkebunan mengakibatkan hilangnya pepohonan dan tanaman kapas yang menjadi sumber pewarna dan benang kapas.
Berdasarkan data dari The Center for International Forestry Research dan World Agroforestry, antara tahun 2000 dan 2017, terdapat sekitar 59.962 km2 hilangnya hutan di seluruh Kalimantan.
Jumlah ini akan terus bertambah dari tahun ke tahun, berdasarkan penelitian yang diterbitkan pada tahun 2022, para ilmuwan mengembangkan model deforestasi, menunjukkan terdapat potensi hutan seluas 74.419 kilometer persegi atau setara dengan 10 juta lapangan sepak bola hilang antara tahun 2018 dan 2032.
Pada tahun 2018, didorong oleh meningkatnya minat dan permintaan terhadap Tenun di kalangan masyarakat Indonesia, generasi muda perempuan Iban yang dipimpin oleh Margareta Mala, mencoba menghidupkan kembali praktik tenun dengan memadukan tradisi dan upaya konservasi, seperti halnya mereka menggunakan benang yang berbeda untuk menenun kain.
Mala telah mendirikan dua komunitas: Endo Segadok, menampung para penenun berpengalaman dan Generasi Lestari yang mendidik perempuan muda Iban tentang menenun. Total ada 58 perempuan yang terlibat dalam komunitas penenun ini.
Mala dan kedua komunitasnya memahami bahwa meningkatnya peminat tenun berarti akan ada saatnya produk tenun mereka berisiko diproduksi secara massal, sehingga mengurangi nilai budaya dan konservasi.
Masyarakat masih menggunakan pewarna alami yang berasal dari hutan mereka, sedangkan benang-benangnya merupakan buatan pabrik akibat hilangnya tanaman kapas di kawasan tersebut.
Mereka juga memastikan bahwa setiap duri dibuat sesuai dengan adat istiadat mereka dan bahwa pola sakral tertentu, yang memerlukan ritual, tetap menjadi bagian dari budaya mereka dan tidak dijual kepada pelanggan.
Mereka juga menggunakan kata 'mengadopsi' dibandingkan 'membeli' kain, menekankan hubungan unik antara penenun dan orang-orang yang memutuskan untuk mengadopsi produk tersebut. Pendekatan ini memupuk rasa keterhubungan dan tanggung jawab, karena orang yang mengadopsinya akan menjadi penjaga budaya Iban di tahun-tahun mendatang.
Menenun nilai konservasi
Selain proses menenun, Mala dan komunitasnya memberikan akses kepada mereka yang ingin mempelajari lebih jauh tentang tenun dan tradisi Iban, terutama hubungannya dengan alam.
Mereka membuat tur yang dirancang agar masyarakat dapat mempelajari secara komprehensif tentang kain, budaya, lingkungan, dan orang-orang yang menenunnya. Mala percaya bahwa berpartisipasi dalam tur ini memberikan apresiasi yang lebih dalam kepada individu terhadap upaya konservasi masyarakat Iban.
Namun, masyarakat menghadapi keterbatasan tertentu, termasuk dalam menenun dan meningkatkan kesadaran mengenai usaha mereka; itulah sebabnya ada upaya multi-sektoral yang dilakukan oleh sektor lokal, nasional, dan nirlaba untuk meningkatkan visibilitas dan mendorong lebih banyak perempuan Iban untuk menenun.
Upaya ini telah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menunjukkan kepemilikan lahan mereka di tingkat lokal dan internasional, meningkatkan kesadaran tentang tenon dan upaya yang dilakukan oleh masyarakat.
Hal ini penting karena meskipun tenun telah menjadi tradisi Indonesia, namun ada pasang surutnya; Namun, upaya untuk meningkatkan kesadaran tentang Tenun telah memungkinkan lebih banyak orang mengapresiasi karya seni ini.
Dampak terhadap perekonomian dan kesejahteraan
Dengan menciptakan kegiatan ini, Mala dan komunitasnya juga telah menghasilkan pendapatan alternatif dan memberdayakan perempuan muda Iban untuk menjadikan menenun atau mengatur tur sebagai pekerjaan penuh waktu mereka.
Bagi laki-laki Iban, hal ini tidak hanya memberikan mata pencaharian alternatif tetapi juga meningkatkan taraf hidup mereka karena mereka memiliki alternatif selain bekerja di perkebunan.
Untuk memastikan manfaatnya bagi masyarakat, setiap pendapatan akan dibagi di antara anggota masyarakat untuk memastikan semua orang mendapat manfaat dari tenun tersebut. Saat ini, harga tenun yang diproduksi Mala dan komunitasnya adalah Rp 3.000.000 dan bisa mencapai 10.000.000 (300 hingga 700 USD).
“Kami berharap upaya dan hasil yang kami lakukan dapat bermanfaat bagi masyarakat, baik komunitas kami sendiri maupun komunitas lain di seluruh Indonesia dan negara lain. Dengan semakin banyaknya masyarakat yang belajar tentang tenun tradisional, diharapkan mereka dapat memahami pentingnya konservasi dan keberlanjutan serta dampaknya terhadap orang yang membuatnya,” kata Margareta Mala.
Kisah bagaimana Mala dan masyarakatnya dapat memanfaatkan budaya dan memasukkannya ke dalam upaya konservasi merupakan pembelajaran bagi komunitas Asia Tenggara lainnya, terutama komunitas yang dipimpin oleh perempuan.
Mengingat laju dan dampak deforestasi di seluruh kawasan, setiap orang perlu terlibat dalam upaya konservasi yang juga mendukung masyarakat yang paling terkena dampaknya, terutama ketika upaya tersebut memberikan kesempatan untuk mempelajari dan mengadopsi sebuah warisan budaya. (thenation)