Rindu Jawa dari Negeri Pagoda

Dari pembuat taman hingga pedagang. Orang-orang Jawa menetap di negeri orang tanpa berpikir kapan akan pulang.


Bandara  udara Suvarnabhumi begitu rapi dan tertib. Antrian panjang di  kantor  imigrasi selesai dalam beberapa menit. Pemandangan serupa  terlihat di  Bangkok Mass Transit System (BTS) atau dikenal dengan nama  Skytrain,  sebuah sistem transportasi massal yang terhubung ke bandara.  Penumpang  tak berebut naik. Suasananya bersih dan nyaman.

Bangkok adalah  kota khas. Foto raja terpasang di mana-mana;  menunjukkan betapa kuat  pengaruh raja kendati negara ini menganut sistem  politik monarki  konstitusional. Lanskap kotanya memikat; kombinasi apik  dari bangunan  bersejarah dan modern. Istana raja. Restoran dan pusat  perbelanjaan.  Dan tempat-tempat hiburan yang tak ada tutupnya.

Bangkok juga  terkesan relijius. Biksu berkepala gundul dan  bertelanjang kaki, dengan  balutan kain oranye, lalu-lalang di jalanan  atau memberi berkat dan  doa di toko-toko. Dengan hormat warga menerima  doa dan memberi sedikit  dagangan atau uang ke kantong yang dibawa para  biksu. Ada juga warga  yang mendatangi vihara-vihara di tepi Lamplatiw  Canal, di depan Wat  Sutthaphot, yang berada di distrik Lat Krabang untuk  meminta restu dari  para biksu sebelum memulai rutinitas. Anda harus  bersabar jika di  tengah kemacetan kota, sopir taksi melambatkan laju  ketika melewati  vihara atau berhenti sebentar di depan vihara untuk  menghormat dan  terkadang berdoa.

Situs-situs Budha mendominasi pemandangan kota.  Ada Candi Wat Pho  dengan koleksi Budha emas terbesar di Thailand.  Patung Budha sepanjang  46 meter, dalam posisi berbaring, begitu  menawan. Bila Anda ingin  menikmati senja, kunjungi Wat Arun, salah satu  kuil Budha terbesar. Ia  tampak begitu anggun saat matahari terbenam.

Saya  menyempatkan diri mengunjungi Sathorn, sebuah distrik di selatan   Bangkok. Di sana terdapat vihara Wat Yan Nawa dan Wat Don, yang juga   terkenal. Namun di sana juga ada sekitar 4.000 orang, sebagian besar   Muslim dan berasal dari Jawa, tinggal. Penduduknya menyebut kampung   mereka Kampung Jawa.

Cara praktis ke sana menggunakan keretaapi.  Turun di Stasiun Surasak,  jalanlah ke gang (soi) pertama sebelah kiri  dan tanya saja “hong lamat  Jawa”. Kebanyakan orang tahu tempat itu. Ia  berada di Jalan Rong Num  Kheang 707, Yanawa, Sathorn. Anda juga bisa  menggunakan taksi atau ojek  dan masuk melalui sebuah gang di samping St  Louis Hospital.


Masjid Jawa

Di  Kampung Jawa, ada sebuah masjid yang disebut Masjid Jawa dan  sebuah  madrasah. Letaknya di tengah-tengah kampung. Di seberang masjid,   dipisahkan jalan gang, terdapat pemakaman umum. Di gang masuk ada marka   jalan besar bertuliskan “Masjid Jawa”.

Di sepanjang jalan menuju  masjid, selain lapak buku, penduduk  menjajakan kue dan makanan dengan  menempelkan stiker halal. Mereka tahu  kaum Muslim yang datang ke  Bangkok, ibukota negara yang mayoritas  beragama Budha, selalu kesulitan  mencari makanan halal.

Masjid Jawa mengadopsi arsitektur masjid  Demak, dengan atap tumpang  dan empat pilar utama. Masjid ini memiliki  tiga pintu; depan dan samping  kiri-kanan, dengan masing-masing  dilengkapi serambi. Sebuah beduk  menghiasi serambi depan. Tempat  wudlunya menggunakan pancuran dengan,  yang membedakannya dari masjid di  Jawa, tempat duduk. Jadi, jemaah  berwudlu sambil duduk.

Buku-buku  kecil surat Yasin dan tahlil tersedia. Selepas shalat  Magrib, beberapa  jemaah melakukan wirid sementara anak-anak mengaji.  Saat Ramadhan,  pengurus masjid menyediakan berbagai makanan untuk takjil  seperti kue  cucur, es cao, dan lontong.

Orang-orang Jawa tinggal tak jauh dari  masjid. Kebanyakan tak lagi  bisa berbahasa Jawa maupun Melayu. Namun  mereka masih mempraktikkan  tradisi tiga hari dan tujuh hari ketika  keluarga meninggal. Bila ada  pesta nikah, mereka mengenakan baju batik  Jawa dan peci. Mereka ramah.  Ketika saya berkunjung, mereka menawarkan  tempat menginap dan memasak  buat makan malam bersama. Di rumah Abu  Dahrin bin Salem (85 tahun), saya  disuguhi kaknomkok, kue Thailand.

Dahrin  adalah generasi ketiga orang Jawa yang lahir dan tinggal di  Sathorn.  Dia punya nama Thailand yaitu Kasim. Dia pensiunan sopir di  kedutaan  Jepang di Bangkok. Dari pernikahannya dengan Lamlah, seorang  Muslim  Thailand, dia punya empat cucu.

Rumah Dahrin terletak seratus  meter sebelah timur masjid; masuk gang  sempit. Rumahnya asri dengan  taman dipenuhi bunga. Hiasan kincringan  bambu tergantung di pintu  utama. “Saya beli dari Bali lima belas tahun  lalu,” kata Dahrin.

Tak  hanya orang Jawa yang tinggal di Kampung Jawa. Beberapa Muslim  Melayu  juga tinggal di sana. Salah satunya Yamilah binti Zakaria bin  Yunus,  yang berasal dari Patani, Kedah. Kakeknya mewakafkan sebidang  tanahnya  untuk pemakaman umum yang berada di seberang Masjid Jawa. “My grand father wakaf this land before World War II,” kata Yamilah, yang sedikit mengingat kosakata Melayu dan hanya bisa bahasa Thailand dan Inggris.

Mereka  hidup rukun, kendati punya pendapat berbeda dalam soal talkin,  tahlil,  dan salawat barjanji yang dipraktikkan orang Jawa di sana.  Mereka  tetap menjalankan ibadah dengan khusyuk. “Saat salat Jumat,  masjid  penuh dengan Muslim dari berbagai belahan dunia. Kumpul dari  Afrika dan  Asia,” tutur Dahrin.


Membuat Taman

Di  seberang masjid, sebuah monumen batu granit mengukir bahasa  Thailand  dan Inggris yang menceritakan muasal Kampung Jawa. Disebutkan,  awalnya  orang-orang Jawa berdagang dan sebagian kemudian menetap di  Bangkok  pada masa pemerintahan Raja Mongkut (Rama IV). Orang-orang Jawa   menempati gang-gang sempit di sekitar pabrik es tua di subdistrik   Kokkrabue, distrik Bangrak, dan di selatan kanal Sathorn (kini jadi   subdistrik Yanawa, distrik Sathorn).

“Selanjutnya ketika Raja  Chulalongkorn (Rama V) berkuasa, dia  mempekerjakan orang-orang Jawa  untuk membangun taman di Grand Palace dan  gedung pemerintahan. Pada  akhirnya banyak orang Jawa tiba dan  bermigrasi dengan cepat,” tulis  monumen itu.

Ketertarikan Rama V pada orang Jawa bermula dari  kunjungannya ke Jawa  pada 1871, yang kemudian dilakukannya lagi pada  1896 dan 1901.  Tujuannya untuk mempelajari standar pemerintahan  kolonial Belanda.  Pemerintah Hindia Belanda menyambut hangat. Sebagai  bentuk terimakasih,  Rama V menghadiahkan sebuah patung gajah yang  hingga kini masih berdiri  anggun di depan Museum Nasional, Jakarta  –juga dikenal sebagai Museum  Gajah.

Menurut Raymond Scupin,  profesor Antrpologi dan Studi Internasional  di Lindenwood University,  dalam “Muslim Accomodation in Thai Society”,  dimuat Journal of Islamic Studies 9:2 (1998), karena terkesan  dengan teknik pertanian dan berkebun  mereka, raja mengundang beberapa  tukang kebun Jawa ke Thailand untuk  mengelola kebun kerajaan dan  mengajarkan metode pembibitan dan berkebun  di bawah perlindungannya.

Sejak itu banyak orang Jawa tinggal dan  menetap di Bangkok. Anak-cucu  mereka lahir dan besar di Bangkok pula.  Mereka terkonsentrasi di  Sathorn.

“Ibu dan bapak saya lahir di  sini. Mereka anak dari Abdul Hamid dan  Markah, generasi pertama yang  datang ke sini dan bekerja di taman  konsulat Inggris,” kata Dahrin.

Dahrin  sendiri lahir dan besar di Sathorn pada 8 Mei 1930. Dahrin  kecil  belajar di sekolah dasar tujuh tahun. Dia belajar agama, bahasa   Thailand dan bahasa Inggris. Setelah lulus dia tak melanjutkan sekolah   karena perang. “Setelah itu saya bekerja di pasukan Jepang, mereka   membayar anak belasan tahun untuk bekerja di kamp. Saya mengerjakan apa   saja. Kuli. Make vitamin B from rice and bekatul. Mengaduk (mixing) for Javanese troop for vitamin B,” katanya dalam bahasa Jawa campur Inggris.

Perang  Dunia II juga mendorong kedatangan orang-orang Jawa. Pada  akhir 1941,  dari Thailand, pasukan Jepang menginvansi Burma dan  merebutnya dari  kontrol Inggris. Untuk mempertahankan pasukannya di  Burma, Jepang  membangun jalan keretaapi yang menghubungkan  Thailand-Burma. Romusha  dari Jawa didatangkan dan dipekerjakan di  proyek-proyek Jepang maupun  perkebunan. Setelah perang berakhir,  sebagian dari mereka memilih  menetap di sana.

Perang juga membuat orang-orang Indonesia yang  belajar di luar negeri  tak bisa pulang dan terdampar di Thailand.  Mereka lantas menetap di  Kampung Jawa. Salah satunya Walidah Dahlan,  anak kesembilan dari Irfan  Dahlan.

Irfan Dahlan adalah putra  keempat (sebagian sumber menyebut kelima)  KH Ahmad Dahlan, pendiri  Muhammadiyah. Sejak muda dia belajar di Lahore,  Pakistan. Pulang dari  Lahore, dia tak bisa masuk Indonesia karena  pendudukan Jepang. Dia  lantas menjadi guru agama di Thailand dan menikah  dengan Zahara dan  dikaruniai 10 anak.

Winai Dahlan, keturunan Irfan lainnya, menjadi  direktur Halal Science  Center di Chulalongkorn University, Bangkok.  Dia pernah dinobatkan  sebagai ilmuwan Muslim paling berpengaruh nomor  16 di dunia. Sementara  Ella bikin toko roti dan kue “Ella Shop” di  Kampung Jawa. Cucu-cicit  Ahmad Dahlan tinggal di belakang masjid.

Setelah  membanjirnya migrasi orang Jawa ke Thailand, sebagaimana  tertulis  dalam monumen batu granit, “Orang-orang Jawa di Sathorn  diizinkan  mendirikan sebuah masjid sebagai pusat pendatang dan pekerja  Jawa pada  masa itu.”

Masjid dibangun pada masa Raja Phrabath Somdet Phrajula  Chorm Krao  tahun 1945. Berdiri di atas tanah wakaf Haji Muhammad Soleh  bin Hasan,  seorang pedagang Jawa di sana, pada 1945 dan Muhammad Soleh  didaulat  sebagai imam pertamanya.

“Hubungan antara orang Jawa dan orang Thailand bagus, antartetangga,” ujar Dahrin.


Rindu Pulang

Sebagaimana  kota besar lainnya, Bangkok adalah sebuah kota  kosmopolitan. Beragam  bangsa hidup dan tinggal di sana. Termasuk juga  orang-orang dari  Indonesia.

Sebelum orang Jawa, banyak orang Bugis, yang dikenal  sebagai pelaut  ulung dan pedagang ulet, datang untuk berdagang dan  tinggal di sana. Ada  juga pelarian politik dari Bugis akibat serangan  Kongsi Dagang Hindia  Timur (VOC) terhadap Gowa-Tallo pada pertengahan  abad ke-16. Mereka  diterima Phra Narai, raja Siam, bahkan dibantu dan  dizinkan menetap dan  membangun kampung. Namun karena bersekongkol untuk  menjatuhkan raja,  Phra Narai dengan dukungan pasukan Prancis dan orang  asing lainnya  menghancurkan kampung Makassar. Orang-orang Makassar  menghadapinya  dengan gagah berani, kendati akhirnya kalah.

Kampung  Makassar tak lagi berbekas. Namun namanya diabadikan sebagai  nama  sebuah kawasan dan jalan, yakni “Makkasan”. Letaknya tak jauh dari   pusat pertokoan mewah terbesar di Bangkok, yaitu Central World, dan   dekat kawasan pasar murah PratuNam. Dari bandara, Anda bisa menggunakan   Skytrain menuju Stasiun Makkasan. Saya melewatinya ketika berkunjung  ke  Kampung Jawa.

Di Kampung Jawa, sekitar separuh dari  penduduknya punya leluhur di  Jawa. Sebagian besar dari mereka memendam  keinginan untuk berkunjung ke  Jawa. “Saya ingin pergi ke Jawa tapi tak  ada rezeki,” kata Abdussamad  (50) mencoba berbahasa Melayu. Samad  generasi ketiga orang Jawa di  Sathorn yang jadi bilal di Masjid Jawa.  Leluhurnya berasal dari Kendal,  sebuah kabupaten di sebelah barat  Semarang. Samad masih suka pakai  sarung, peci dan baju koko.

Namun  mereka umumnya masih mengikuti perkembangan di Jawa. Ella,  misalnya,  meski tak pernah ke Jawa, dia tahu dan sudah menonton film  soal Ahmad  Dahlan Sang Pencerah. “Someday, I will go to Yogya,” kata Ella.

Dahrin  beruntung masih menyambung persaudaraan dengan keluarganya di  Kendal.  Saat liburan ke Bali dia sempatkan berkunjung ke Semarang dan  Yogya  serta mampir ke Kendal. Dengan bahasa Indonesia campur Jawa yang   terbata-bata, dia menyebut beberapa nama saudaranya di sana. Dia juga   ingat nama desa asal leluhurnya yaitu Pucang Kulon namun ketika ditanya   kecamatan apa ingatannya tak cukup merekam. “Karan wis tuwo,” tuturnya sembari tertawa.

Sesekali  Dahrin masih melihat siaran televisi Indonesia dan senang  belajar  bahasa Indonesia dan Jawa. Dia ingin anak-anaknya belajar bahasa   Indonesia dan Jawa. Dia memesan sebuah kamus bahasa Inggris-Indonesia   pada saya.

Saya meninggalkan Bangkok dengan kesan mendalam. Kampung Jawa membuat saya merasa di kampung sendiri. (Penulis Imam Shofwan. Dikutip dari Historia.id)



Share: