Cukup 21 tahun rakyat di Thailand Selatan menderita karena ulah kekerasan yang didalangi BRN.
Suarathailand- Pemerintah Thailand mencoba yang terbaik dalam perundingan perdamaian di Thailand Selatan. Namun Front Revolusioner Nasional (BRN) tidak serius, malah disinyalir mendalangi 170 insiden aksi kekerasan di Thailand Selatan. Bahkan dalam tiga bulan terakhir, 9 orang tewas akibat aksi kekerasan tersebut.
Benar apa yang dikatakan sejumlah pihak bahwa BRN tidak hanya mencuri perdamaian di provinsi perbatasan selatan Thailand. Namun hal ini juga “menghancurkan” perekonomian dan masyarakat, termasuk infrastruktur di Thailand Selatan. Meskipun pemerintah Thailand berupaya mengendalikan situasi demi kesejahteraan penduduk Muslim, BRN tetap menjadi “gangguan” yang menghambat semua Upaya perdamaian.
Karena alasan ini, pemuda di provinsi perbatasan selatan Thailand melihat BRN sebagai ekstremis karena tidak hanya membunuh umat Muslim. Namun, ia juga merusak infrastruktur seperti tiang telekomunikasi dan merusak properti pemerintah seperti tiang listrik yang berdampak pada kehidupan masyarakat.
Merusak menara telekomunikasi dan tiang listrik bukanlah perkara kecil karena menyangkut hajat hidup orang banyak yang beragama Islam. Karena komunikasi dengan anggota keluarga terganggu dan banyak pedagang mengalami kerugian besar saat listrik padam.
Dengan segala bentuk kekerasan yang terjadi dan kejahatan yang dilakukan, masih layakah BRN diundang untuk duduk di meja diskusi lagi? Apakah mereka masih layak dianggap sebagai pejuang bagi umat Islam?
Pertanyaan lainnya adalah, apakah perwakilan BRN dalam perundingan damai benar-benar menyuarakan suara separatis? Jika begitu, mengapa kekerasan terus berlanjut? Dan mengapa selalu ada serangan bersenjata dan pemboman selama pembicaraan damai?
Penulis mengajukan pertanyaan ini karena ada laporan yang menyebutkan adanya konflik di dalam kelompok BRN itu sendiri dan terpecah menjadi beberapa faksi akibat perebutan posisi sebagai wakil di meja perundingan. Terutama sayap politik dan militer.
Saat ini, dikatakan bahwa perwakilan BRN hanya mewakili sayap politik satu daerah, tanpa perwakilan dari sayap militer. Inilah penyebab kegagalan proses perundingan damai.
Apa yang terjadi menunjukkan betapa lemahnya BRN. Dan itu membuktikan bahwa setiap upaya untuk berbicara dengan mereka adalah sia-sia karena mereka terpecah-pecah di antara mereka sendiri.
Oleh karena itu, tahun 2025 bukanlah tahun yang tepat untuk berbicara dengan BRN, apalagi memberi perhatian pada rasa kebesaran para pemimpin BRN, yang disebut-sebut akan menentukan masa depan perdamaian di provinsi-provinsi perbatasan selatan Thailand.
Di sisi lain, untuk masa depan provinsi-provinsi perbatasan Selatan, terutama kesejahteraan umat Islam di daerah tersebut, rama dan propaganda BRN harus dihentikan dan peran tempur BRN harus diakhiri.
Tutup saja pintu untuk berbicara dengan pihak BRN. Dan sebagai wali sah Pemerintah Thailand dapat menggunakan semua ketentuan hukum dan konstitusional untuk mengakhiri konflik di wilayah tersebut.
Namun penulis sangat yakin Meski baru menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand kurang dari 6 bulan, PM Paethongtarn Shinawatra punya strategi untuk menyikapi perilaku BRN.
Sudah pasti sudah cukup 21 tahun rakyat di daerah ini menderita karena ulah BRN. Biarlah pada tahun 2025, para pemimpin BRN juga merasakan penderitaan akibat ulah mereka sendiri.