Indonesia - Malaysia Sharing Pengembangan Moderasi Beragama


Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ), Muchlis M Hanafi,  menyatakan dunia Islam harus bersuara lantang dalam menyampaikan ajaran  Islam sebagai rahmatan lil alamin. Narasi kasih sayang begitu sangat  kuat dalam al-Qur’an. 

Tidak kurang dari 558 kali kata rahmat dengan berbagai derivasinya  disebut dalam Al-Qur’an. Jauh melebihi sifat-sifat mulia lainnya,  seperti sabar, jujur dan amanah. Tetapi, Islam dan umat Islam tertuduh  sebagai pihak yang memproduksi kebencian dan kekerasan.

Hal ini disampaikan Muchlis Hanafi dalam Seminar Antarbangsa yang  diselenggarakan oleh Universitas Islam Antarbangsa (UIA) Malaysia  bekerjasama dengan Majlis Agama Islam Wilayah Persekutuan (MAIWP), September 2019 di Kuala Lumpur. 

Seminar bertemakan “Rahmatan Lil Alamin” dihadiri oleh Menteri pada  Jabatan Perdana Menteri, YB Dato Sri Dr. Mujahid bin Yusuf, Presiden dan  Rektor UIA, Ketua Pengarah Jawatan Keislaman Malaysia (JAKIM), Ketua  MAIWP, Mufti Wilayah Persekutuan, dan sejumlah akademisi serta ulama  dari Indonesia, Brunei, Thailand dan Malaysia. Seminar bertujuan  memberikan masukan tentang penerapan konsep rahmatan lil alamin yang  telah ditetapkan sebagai dasar kebijakan pentadbiran Islam pemerintahan  Mahathir Muhammad.

Dalam ulasannya terhadap pembentangan Prof. Emeritus Tan Sri Dr.  Muhammad Kamal Hasan, Muchlis menyatakan keragaman sebuah keniscayaan  dalam hidup. Kegagalan mengelola keragaman mengakibatkan dunia  terjerembab dalam konflik kemanusiaan berkepanjangan. Menyadari adanya  potensi konflik dalam keragaman, Pemerintah Indonesia melalui  Kementerian Agama mengkampanyekan moderasi beragama dalam rangka  menurunkan tensi ketegangan dan menciptakan keseimbangan dalam kehidupan  keagamaan akibat pemahaman ekstrem, baik kanan maupun kiri. Bahkan,  moderasi beragama telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah  Nasional (RPJMN) tahun 2019-2024. 

 Muchlis menambahkan, keragaman bukan untuk dibenturkan, sehingga  saling menegasikan dan menafikan. Tetapi, perbedaan untuk saling  mengenal dan berkomunikasi dalam wadah perjumpaan (lita'aarafuu) (QS. Al-Hujuraat: 13). Esensi dari ta'aaruf adalah saling menolong dan bekerjasama dalam mewujudkan kemaslahatan bersama. 

Modal dasar bekerjasama adalah kesadaran bahwa manusia berasal dari  Adam dan Hawa. Sebagai manusia, semua anak keturunan Adam, tanpa  terkecuali, terlepas dari perbedaan agama, bahasa, suku bangsa dan warna  kulit, mendapatkan kemuliaan yang sama dari Allah Swt (QS. Al-Isra:  70). Sehingga, benar ungkapan Imam Ali, manusia yang bukan saudara  seagama denganmu (akhun laka fi al-diin) adalah setara denganmu dalam kemanusiaan (nazhiirun laka fil khalq).

Dalam konteks negara bangsa, perjumpaan antara warga bangsa yang  berbeda tidak akan terjadi tanpa ada rasa saling mengasihi dan  menyayangi (al-taraahum). Perbedaan dalam hal apa pun, termasuk  perbedaan agama dan cara pandang keagamaan, tidak boleh menghalangi  terwujudnya kerjasama dalam wadah saling mengasihi. QS. Al-Mumtahanah: 8  dan 9 secara tegas menyatakan hal tersebut. Demikian pula fakta  kehidupan masyarakat Madinah yang dibangun oleh Rasulullah Saw.

Selain Muchlis, dari Indonesia hadir dalam seminar tersebut Rektor  UIN Arraniry, Prof. Dr. Warul Walidin, Rektor IAIN Jember, Prof. Dr.  Babun Suharto, Warek 1 UIN Arraniry, Dr. Gunawan.

Share: