Ada Cahaya Islam di Thailand Selatan (1)


Ada sisi lain Thailand Selatan yang perlu traveler tahu. Di sini, cahaya Islam cukup terasa. Banyak makanan halal dan masjid besar di sana.

Selama ini saya hanya mengenal Bangkok dan Pattaya sebagai pusat wisata dan belanja di Thailand dan kotanya para lady-boy. Siapa sangka tujuan awal saya yang hanya ingin menjalankan tugas akhir kuliah, magang dan KKN di Thailand Selatan malah menjadi muslim-travelling dadakan yang sebelumnya tidak ada di dalam schedule saya.

Sambil berenang minum air, menyelesaikan magang dan KKN sekaligus belajar tentang sejarah dan liburan. Itulah yang saya dapatkan dan ingin saya bagikan ke sahabat semua mengenai perjalanan saya di Pattani, Yala dan Narathiwat.

Pattani, Yala dan Narathiwat adalah provinsi-provinsi yang terletak di bagian selatan Thailand. Tak sering terdengar memang, tapi ada banyak pelajaran sebagai seorang muslim yang bisa kita pelajari di sini.

Negeri Melayu yang tersembunyi? Palestina versi Mini? Begitulah deskripsi singkat yang ada di kepala saya saat pertama kali menginjakkan kaki dan melihat kondisi di sana.

Pagar kawat dan tentara ada dimana-mana

Sejarah pemberontakan di masa lalu yang membuat Thailand Selatan dipenuhi dengan pagar kawat dan tentara di sepanjang sudut jalannya. Beberapa foto pemberontak yang masih dicari juga terpasang di jalanan, akan ada hadiah bagi mereka yang bisa menemukan.

Walaupun suasana di sana berbeda dengan Indonesia, fasilitas jalan, sekolah dan pendidikan Islam di sini jauh lebih baik. Ada banyak hal yang akhirnya merubah pemikiran saya, Pada akhirnya Thailand Selatan adalah Thailand Selatan. Negeri yang indah dan Islami. Oh ya, ada sejarah Aceh, Indonesia yang saya dapat di sana.

Tidak berhelm!

Culture-Shock pertama yang saya rasakan ketika memasuki Provinsi Pattani dari Kota Bharu, Malaysia. Kalau sahabat di Indonesia akan merasa was-was saat bertemu petugas karena tidak memakai helm, lain halnya dengan masyarakt Thailand Selatan. Di sini mereka akan merasa was-was dan akan dicurigai petugas saat memakai helm.

Pattani adalah Yogyakarta-nya Thailand

Kalau kita mengenal Yogyakarta sebagai kota pelajar yang banyak diminati oleh pelajar dari luar kota, begitu pula dengan Pattani. Pelajar-pelajar dari provinsi lain datang ke Pattani untuk melanjutkan kuliah mereka.

Tangga yang Terpisah


Seperti judul FTV ataupun sinetron, begitulah saya memanggilnya. Thailand Selatan dikenal sebagai masyarakat Melayu Muslim yang taat. Kalian tidak akan pernah menemukan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram saling berjabat tangan, dimana ini adalah hal biasa bagi muslim di Indonesia. Bahkan mahasiswa-mahasiswa dan dosen di sana menggunakan tangga yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan.

Hal pertama yang akan kita sebagai muslim rasakan saat di sini adalah, betapa indahnya mereka menjalankan syariat Islam. Lantas sudah benarkah saya selama ini?

Oh ya sahabat, udara di Thailand Selatan sangat panas namun angin berhembus kencang. Jangan lupa untuk membaca sunblock. Berkunjung ke Thailand jangan sampai melewatkan mencicipi durian. Tidak lupa juga saya mencicipi nasi kerabu khas Thailand Selatan yang berwarna biru.

Provinsi kedua tempat saya tinggal selanjutnya adalah Yala. Saya ditempatkan di sekolah Udomsasn Witya Yala. Saya akhirnya menyadari kalau saya sedang berada di Thailand saat saya berada di sini. Kenapa? Karena pelajar di sekolah ini berbahasa Thailand.

Memang beberapa diantara mereka ada yang fasih berbahasa Melayu dan Inggris, namun banyak juga yang tidak bisa berbahasa Melayu. Begitu juga guru di sana. Oleh sebab itu untuk menghidupkan kembali Bahasa Melayu, jurusan Bahasa Melayu dibuka di kampus.

Guru-guru yang bisa berbahasa Melayu juga mengajarkan siswa-siswa di sana. Cukup sulit untuk berkomunikasi pada awalnya karena mereka malu dan tidak mengerti yang saya bicarakan. Tapi sahabat tahu, bahasa tubuh menjadi pemecah masalah terbaik.

Jangan khawatir untuk mengunjungi negara manapun walaupun kita tidak bisa berbicara bahasa mereka, cukup ketahui dasar Bahasa Inggris dan 55% diantaranya gunakan bahasa tubuh, hehe.

Masyarakat di Yala sangat ramah. Perempuan di sana anggun dengan hijab syari dan laki-laki yang berpakaian rapi. Mereka putih-putih loh sahabat, jadi iri deh saya yang berkulit coklat. Oh iya, di sini syariat Islam benar-benar dijalankan ya.

Untuk hal yang biasanya kita orang Indonesia anggap sepele, tidak terjadi di sini. Seperti tidak pernah ada salaman antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, kemudian guru-guru yang selalu membiasakan siswanya mengaji iqra sebelum belajar. Sedari SD dan anak-anak TK memang dididik secara Islami sejak dini.

Contoh lainnnya adalah, laki-laki di sini itu gentle dan to-the-point. Tidak ada pacaran kalau suka langsung datangi rumahnya, minta izin dengan ayahnya. Wah, gentle sekali mereka.

Tidak ada kegiatan lain saat malam selain mengaji. Berada di sini mengingatkan saya akan kampung halaman saya saat belum ada listrik. Ya walaupun di sini listrik selalu menyala, tapi suasana saat malam sangat sepi. Para pelajar di asrama berada di masjid sampai selesai Isya.

Makanan di Yala murah-murah dan bermacam-macam. Saya berangkat ke Thailand Selatan Agustus 2017, saat itu 1.000 bath setara dengan Rp 400.000. Kalau sabahat membelanjakan uang segitu, sahabat bisa mentraktir satu rt loh. Karena makanan di sini itu murah-murah. Kalau kata kids-zaman-now makanan disini itu affordable-lah.

Makanan Thailand Selatan sendiri terkenal dengan rasa asam dan pedasnya, sangat cocok untuk orang Sumatera seperti saya. Emang dasarnya saya ini suka makan.

Ada makanan khas Yala yang terlihat seperti Bakso tapi rasa kuahnya seperti perpaduan gado-gado dan rujak. Aneh? Tidak. Saya menyukainya. Selain itu juga ada Mango Sticky Rice. Tapi sahabat, selama di sini saya sangat merindukan tahu dan tempe serta sayuran khas Indonesia.

Jangan lupa untuk membeli keripik durian khas Yala. Wajib membeli untuk oleh-oleh. Rasanya itu wow enak sekali. Saya yang tidak suka durian saja sangat menyukai keripik durian ini. Rasanya sama sekali tidak menyengat seperti bau buah durian, rasanya seperti perpaduan antara keripik pisang dan ubi. Entahlah tidak bisa dijelaskan.

Namun sayang, saya tidak pernah mengendarai Tuk Tuk, kendaaran khas Thailand. Selama di sini saya selalu didampingi dan diantar oleh pembimbing saya yang berasal dari Yala. Buat saya Yala itu Solo versi Thailand. Makanan murah, masyarakat yang hangat dan bersahaja, dan bikin kangen. (Detiktravel/Sri Debby Eka Lestari - d'travelers).

Share: